Catatan dari sumber lokal
Kisah lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang
Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan
kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita
mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur
dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras
yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika
seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat
kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya
ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak
ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil
barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu
disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung
hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya, dewan menteri memohon
agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah
yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi
hukuman dipotong kakinya.
Carita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan
buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut
Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha
Mengenai
keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan
yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga
berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa
(Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah
menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa).
Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan
kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud
dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.
Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa,
tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak
abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674
Kerajaan Ho-ling diperintah
oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja
yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa
yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Disebutkan
bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta
melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan
ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan.
Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan
uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani
mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang
tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan
memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal
leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar
kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut
adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher
melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan
rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai
pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan
terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan
kemakmuran.
Daerah
wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut
Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang
menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada
di daerah-daerah.
Perutusan ke Negeri Cina
Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling
mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian
kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan
tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke
Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan.
Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti
Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Pengiriman duta Ho-ling ke
Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi
samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus
dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu
perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain.
Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin
aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau
kerajaan lain di seberang laut.
Pendeta Buddha Jnanabhadra
Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo
(kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan
kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah
prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa
berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk
Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti
adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan
sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut
dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha,
trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma.
Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut
terjelamahan prasasti tersebut:
Mata
air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau
pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke
sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai
Gangga.
Kehidupan Masyarakat
Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling
menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.
Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun
kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa
(mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit,
melainkan menggunakan tangan.
Keberadaan
kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu
Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima
digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum
kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja
berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar