Translate

Translate

Jumat, 22 Maret 2013

Politisi pendidikan



Duduk dibangku ditemani sebuah buku dan bolpoin, sambil mendengarkan dosen mengajar. Dosen yang mengajariku ini unik, beliau memngajarnya  sangat menyenangkan. Beliau mengajar dengan menggunakan teknik membangun semangat mahasiswa agar kreatif, inofatif, dan agar mental menjadi kuat.
Disela sela beliau mengajar biasanya beliau selalu  memberikan sebuah cerita yang menarik. Kata beliau nenek moyang dulu dalam mengajar juga diselipkan sebuah cerita disela sela-sela mengajari anak didiknya. Ternyata sistim mengajar seperti itu  sekarang lagi ngeksisi di luar negeri. Intinya dalam memberikan pengajaran pelajar harus merasa senang. Tapi tidak di negeri ini yang basisnya seorang pelajar harus cerdas bagaimanapun caranya, walaupun seorang pelajar sampai setres memikirkan tugas yang menumpuk hingga tidak ada waktu untuk bermain, dan untuk melakukan hal hal yang bersifat kreaif dan inofatif.
Pendidikan di negeri kita ini sudah dipolitisi oleh kalangan atas yang berkepentingan. Pendidikan menjadi berbasis materialistik, apatis dan takut salah. Seorang guru pengajar yang takut dimarahi  kepala sekolah kalau siswa-siswanya ketika ujian mendapatkan nilai buruk. Kepala sekolah juga takut kepada orang yang berada di atasnya kalau kalau sekolahnya tidak memenuhi setandar nili nasional, juga atasan yang takut pada wali kota kalau sekolah-sekolah dalam tanggunjawabya mendapatkan imet yang buruk, wali kotapun tak luput dari ketakutan kalau pendidikan di kotanya merosot, maka nilai pandang masyarakat terhadap dirinya juga mengalami kemerosotan dan akhirnya tahun depan tidak dipilih lagi sebagai wali kota, dan seterusnya sampai atasan yang tertinggi. Intinya jika pendidikan nilainya itu buruk maka reputasi namanya juga buuk. Untuk itu sebagai pablik figur hal itu tidak boleh sampai terjadi. Maka dirumuskan sebuah politisi pendidikan agar bagaimana caranya nilai yang bersifat objektif bisa terlihat wahhh dan mengagumkan.
Pendidikan pada zaman dahulu dan pada zaman sekarang itu sangat berbeda. Zaman dulu materi yang diajarkan sedikit cuman ilmu hitung hitung, bahasa indonesia dan ilmu pengetahuan umum, dan tidak banyak tugas. Jadi guru yang mengajar itu adalah yang mengajar beneran, tidak sungkan dan pelit dalam memberikan ilmu. Sedang pada zaman sekarang pelajarannya masyaallah super banyak dan tugasnya gak kalah hebat banyaknya. Dalam hal ini para pelajarlah yang menjadi kkorban, tak ada lagi dunia bermain dan berkreatif.
Sekarang kita bisa melihat lembaga pendidikan negeri ini banyak sekali tugas dan pekerjaan rumah yang menumpuk. Begitu mudahnya seorang guru atau dosen mengjar anak didiknya tinggal mengasih tugas dan pr dan menjelaskan pr yang emarin kemudian pulang. Kalau caranya kayak gitu yaaa hanya orang-orang kaya yang mendapatkan keuntungan. Dimana tidak orang kayakan banyak duitnya bebas mengeleskan anaknya, mengundang guru prifat untuk mengajar anak-anaknya agar besok ketika prnya dibahas dalam kelas bisa tampil maju kedepan dan mendapatkan pujian dari gurunya. Tapi kalau orang rang yang tidak mampu alias miskin yang tidak bisa mengeleskan anaknya atau mendatangkan guru prifat, mereka akan menjadi pelajar yang pasif, hanya akan menonton pertunjukan anak-anak orang kaya berlaga di depan kelas. Dan pada akhirnya ketidak seimbangan itu menjadikan kesenjangan sosial lebih tinggi, yang kaya makin kaya dan yang miskin juga semakin miskin.
Pendidikan yang materialistik menjadikan seseorang pelajar hanya bertujuan untuk mencari kekayaan pribadi. Orang tua menyuruh anaknya untuk sekolah dan kuliah agar nanti hidupnya aman tentram nyaman dan kaya. Kata seorang mahasiswa “kita ini menempuh ujian nasional untuk dapat lulus dari sma dan dari sma kita melanjutkan untuk kuliah ke perguruan tinggi yang di akui oleh negara. Dan kuliah itu untuk mencari kerja agar hidup menjadi sejahtera dan kaya”. Itulah pendidikan di negeri kita. Tidak heran pendidikan seperti itu melahirkan para korupsi korupsi nepotisme dan kolusi
Seharusnya pendidikan di negeri ini adalah pendidikan yang bisa memprogram fikiran setiap pelajar menjadi fikiran yang berniatkan mencari ilmu, mengembangkan ilmu untuk manusia dan soal rezki menjadi orang kaya atau miskin dipahami sebagai sebuah takdir yang sudah ditentukan oleh sang maha pencipta.

Tidak ada komentar: